![]() |
Bambang Supomo |
Oleh: RWG
Di sebuah dusun kecil bernama Betengrowo di Tuban, Jawa Timur, hidup seorang pria sederhana bernama Bambang Supomo. Usianya tak lagi muda, namun semangatnya mengayuh sepeda ontel tua melintasi berbagai kota—dalam event, napak tilas sejarah, hingga kongres komunitas—tak pernah surut. Siapa sangka, sepeda tua itulah yang perlahan membawanya ke mimpi tertingginya: berangkat haji bersama sang istri tercinta.
Bambang bukan orang kaya. Ia hanya seorang pecinta bonsai dan sepeda ontel. Namun, keinginannya untuk berhaji telah tertanam sejak lebih dari satu dekade lalu. Tahun 2012, dengan susah payah ia mendaftar haji, dibantu oleh takmir masjid yang menambahi kekurangan dari hasil tabungan kecilnya yang hanya mampu menyetor ratusan ribu rupiah per bulan.
Tahun 2024, namanya muncul sebagai peserta cadangan yang berhak berangkat. Tapi euforia itu segera sirna ketika realitas menghantam: ia dan istrinya, Sutimah, harus melunasi biaya sebesar Rp67.600.000. Jangankan puluhan juta, penghasilan dari menjual bonsai bahkan tak cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari. “Saya hanya bisa pasrah. Tanaman bonsai saya jual ke sana-sini, bahkan sampai diiklankan di media online, tapi tak juga laku,” kenang Bambang.
Namun Tuhan tak pernah tidur. Dalam sebuah event sepeda bertajuk Mbah Man Gowes Sejagad di Sukoharjo, ia menceritakan kegundahannya kepada sahabat ontelisnya, Ahmad Basori. Jawaban sahabatnya sederhana, namun menggetarkan hati: “Mbah, uang memang dicetak Bank Indonesia. Tapi yang memberangkatkan itu Allah.”
Itulah titik baliknya. Dengan kekuatan doa dan ibadah yang telah ia jalani sejak tahun 2000—yakni puasa Nabi Daud—Bambang terus berserah. Tak pernah meminta secara langsung, namun cerita-cerita kecil yang ia sampaikan dengan tulus pada rekan-rekannya rupanya mengetuk banyak hati.
Dalam rapat KOSTI (Komunitas Sepeda Tua Indonesia) Jawa Timur di Sidoarjo, ia kembali bercerita. Tanpa sadar, kisahnya sampai ke telinga pembina KOSTI Pusat. “Saya hanya cerita, tidak mengiba. Tapi rupanya Allah punya caranya sendiri,” ujarnya pelan.
Tak lama, Bambang diundang ke Kongres Sepeda Ontel Nasional di Semarang. Di sanalah, kejutan besar datang. Donasi dari komunitas mengalir deras dari berbagai daerah—Aceh, Sumatera, Kalimantan, Bali—ikut membantu. Donasi diberikan ke Bambang jutaan rupiah dan tiap hari bertambah, sehingga bisa untuk melunasi perjalanan haji Bambang. Bahkan, paspor pun diuruskan. “Saya hanya duduk, ikut saja. Semua dibikinkan,” ucap Bambang dengan suara bergetar.
Namun hati Bambang tak tenang. Istrinya belum bisa berangkat. Tapi keajaiban belum selesai. Bonsai-bonsai yang setahun tak laku, tiba-tiba dibeli orang. Uang itu cukup untuk melunasi biaya keberangkatan sang istri. Seolah Allah menunggu waktu yang tepat untuk membuka langit-Nya.
Bambang bukan tokoh biasa di komunitasnya. Ia adalah inspirasi. Tahun 2014 dan 2016, ia mengikuti gowes napak tilas Jalur Daendels sejauh 1.200 km. Tahun 2018, ia menjadi satu-satunya peserta sepeda ontel dari Jatim dalam acara IVCA dari Anyer ke Bali, meski usianya 60 tahun saat batas maksimal 50 tahun. Tahun 2022, ia mewakili Jawa Timur dalam event nasional yang digelar Kemenpora di Palembang. “Saya tidak punya uang, tapi saya punya keyakinan. Kalau Allah sudah panggil, semua pasti ditanggung-Nya,” katanya.
Keberangkatannya kini tinggal menghitung hari: 19 Mei 2025, lewat Embarkasi Juanda. Segala kebutuhan telah terpenuhi. Untuk membimbing ibadah hajinya, Bambang memilih KBIHU Shofa Marwah Sidoarjo, yang dikenal mendampingi jamaah sejak pendaftaran hingga kepulangan.
H. Khafid Abrori dari KBIHU itu mengatakan, “Semua CJH kami dampingi dengan intensif. Bahkan hingga di Tanah Suci. Kepulangan pun difasilitasi langsung sampai ke Pondok, agar keluarga tak perlu repot menjemput.”
Kini, Bambang dan Sutimah bersiap mengenakan pakaian ihram, meninggalkan tanah Jawa menuju Tanah Suci. Dari sepeda ontel, dari bonsai yang sempat tak laku, dari cerita yang disampaikan dengan hati, Allah menggerakkan seluruh komunitas untuk menjadi jalan.
Dan saat kelak ia menapakkan kaki di tanah haram, mungkin ia akan tersenyum kecil dan berkata dalam hati:
“Ini bukan karena saya kuat, tapi karena saya percaya. Saya hanyalah haji ontelis—berangkat bukan karena harta, tapi karena doa, cinta, dan saudara.”